“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak.” (Mahatma Gandhi)
Di tengah semakin menguatnya fakta-fakta tentang perubahan iklim yang
menyebabkan munculnya bencana ekologi di berbagai belahan dunia,
Panitia Nobel Swedia menganugerahkan nobel perdamaian bagi Al Gore
(mantan wakil presiden AS dan pejuang lingkungan hidup) dan IPCC PBB
(Intergovernmental Panel on Climate Change – Panel Antar Negara untuk
Perubahan Iklim).
Ini menguatkan kredibilitas IPCC yang menghimpun 2500 pakar dan
peneliti dari 130 negara, yang selama ini berhadapan dengan berbagai
lembaga kajian tandingan yang dibayar oleh
perusahaan-perusahaanPerusahaan Trans-Multinasional terutama perusahaan
perminyakan raksasa untuk mematahkan temuan-temuan dan prediksi ilmiah
di seputar isu perubahan iklim.
IPPC telah memperkirakan bahwa tanpa ada upaya global mengurangi
emisi, maka sekitar 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua
Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Sementara
itu kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia
Selatan.
Khusus untuk Indonesia, IPCC menyebutkan negara ini akan menghadapi
resiko besar akibat pemanasan global. Pada tahun 2030, diprediksi akan
terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8-29 cm dari saat ini. Jika
hal ini terjadi, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2000
pulau-pulau kecil. Penduduk Jakarta dan kota-kota di pesisir akan
kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi
perbedaan tingkat air pasang dan surut yang kian tajam. Akibatnya, akan
sering terjadi banjir, sekaligus kekeringan yang menyekik kehidupan.
Nobel Perdamaian ini sekaligus menegaskan bahwa perubahan iklim
adalah ancaman besar bagi terwujudnya dunia yang damai. Juga mengukuhkan
bahwa tindakan yang menolak Protokol Kyoto merupakan tindak terorisme
ekologis, sebagai suatu pernyataan perang yang tidak ada habis-habisnya
terhadap bumi dan manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh Vandhana Shiva
seorang cendekiawan India terpandang dan seorang aktifis sosial tingkat
dunia menyatakan “dengan menolak menandatangani Protokol Kyoto,
Presiden Bush telah melakukan tindak terorisme ekologis pada sejumlah
besar komunitas yang mungkin akan lenyap karena pemanasan global”.
Pesta Pora Para Serigala
Mempertahankan gaya hidup american style yang menjadi dasar
Presiden Bush untuk tetap bebal menolak menandatangi Protokol Kyoto
menyebabkan rendahnya komitmen negara-negara maju untuk memecahkan
persoalan genting ini.
Negara-negara barat, amerika dan eropa, adalah penyumbang emisi gas
rumah kaca terbesar. Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa hanya 20,1
persen dari total warga dunia, namun mengkonsumsi hingga 59,1 persen
energi dunia. Sedangkan penduduk di benua Afrika dan kawasan Amerika
Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengkonsumsi 10,3
persen.
Data tahun 1990 menunjukkan, total emisi gas rumah kaca mencapai 13,7
Gt (gigaton), yang secara berturut-turut disumbang Amerika (36,1
persen), Rusia (17,4 persen), Jepang (8,5 persen), Jerman (7,4 persen),
Inggris (4,2 persen), Kanada (3,3 persen), Italia (3,1 persen), Polandia
(3 persen), Prancis (2,7 persen), dan Australia (2,1 persen)
Krisis iklim adalah isu politik ekonomi. Ini adalah soal penguasaan
akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas
sumber-sumber ekonomi, serta siapa yang memperoleh manfat (keuntungan),
siapa yang menanggung biaya (biaya kerusakan/pencemaran lingkungan).
Krisis iklim merupakan problem dari tatanan ekonomi yang tidak adil,
dimana ketamakan menjadi panglima, akumulasi kekayaan segelintir orang
hanya terjadi melalui penghisapan terhadap mayoritas lainnya. Sistem
ekonomi yang disebut Kapitalisme Neoliberal inilah yang sedang
mendominasi panggung global hari ini, merupakan kelanjutan dari
kolonialisme dan imperialisme klasik. Sistem ekonomi ini bertumpu pada
akumulai modal dan keuntungan, dan mampu mengendalikan sistem
pemerintahan nasional dan global.
Korbannya adalah negara-negara selatan yang miskin namun memiliki
kekayaan alam dan penduduk yang banyak. Kapitalisme Neoliberal tidak
saja menimbulkan kemiskinan di kalangan mayoritas rakyat di
negara-negara selatan, tetapi juga kerusakan lingkungan yang parah di
tingkat lokal dan regional. Akumulasinya, kini seluruh bumi dan
peradabannya harus menghadapi ancaman bencana ekologi yang maha dahsyat
akibat perubahan iklim. Dan sekali lagi, rakyat di dunia ketiga dan
negara-negara selatan yang paling rentan menghadapi ancaman bencana ini.
Politik Pengingkaran dan Kambing Hitam
Negara-negara Maju di utara terutama Amerika Serikat adalah pihak
yang paling bertanggungjawab atas pemanasan global. Sikap keras kepala
untuk mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, mewah dan boros adalah
sebuah tindakan pengingkaran terhadap tanggung jawab tersebut. Bahwa
kemakmuran yang mereka nikmati hari adalah hasil dari penghisapan dan
pengerukan kekayaan alam negara-negara selatan sejak masa kolonialisme
dan imperialisme klasik hingga saat ini. Merekalah (negara-negara maju)
yang berhutang kepada negara-negara Selatan, yakni hutang sosial dan
ekologis karena perampasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan,
pemiskinan rakyat dan pemakaian ruang alam untuk menimbun limbah
berbahaya diantaranya gas-gas efek rumah kaca yang berakibat pemanasan
global.
Bentuk-bentuk pengingkaran yang dilakukan oleh negara-negara maju
adalah dengan membuat kajian-kajian yang melemahkan dan bahkan
menyangkal laporan-laporan ilmiah seperti yang dikeluarkan oleh IPCC.
Dengan disponsori oleh korporasi trans/multinasional maupun oleh
aktor-aktor di dalam pemerintahan. Memberikan keleluasan dan
perlindungan kepada korporasi-korporasi trans/multinasional untuk
menjalankan bisnisnya. Perlu diketahui, kini kekuasaan Korporasi Global
telah dapat menyaingi kekuatan ekonomi negara, terutama negara-negara
berkembang di selatan. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52
diantaranya adalah Korporasi Global.
Politik pengingkaran juga dilakukan dengan mengkambing-hitamkan
negara-negara industri baru seperti Cina, India, Meksiko, Brazil sebagai
penyebab utama pemanasan global. Bahkan termasuk kepada Indonesia, yang
belum lama ini dianugerahi gelar emitor ke-3 tertinggi emisi gas rumah
kaca karena kebakaran lahan dan hutan.
Politik kambing hitam ini juga bisa dilihat dengan mengalihkan
tanggungjawab mereka untuk mengurangi emisi dengan bantuan untuk
penghutanan di negara berkembang atau melalui mekanisme perdagangan
karbon. Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics)
menyatakan bahwa ongkos reduksi emisi melalui mekanisme perdagangan
karbon hanya sepertiga atau kurang dibandingkan dengan reduksi pada
sumber emisi.
Pada akhirnya, negara-negara maju akan menggunakan instrumen hutang
luar negeri dan investasi asing untuk melakukan kontrol dan penaklukan
terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara berkembang. Jerat hutang luar
negeri inilah yang menjadikan penguasa di negara-negara berkembang
”menyesuaikan diri” dengan agenda-agenda kepentingan negara-negara maju.
Di samping tentunya mental untuk mengejar rente ekonomi dari
proyek-proyek hutang dan proyek ‘perubahan’ iklim yang telah menjadi isu
andalan negara adikuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar