Selasa, 13 November 2012

Pemanasan Global, Indonesia, dan Arogansi Negara-negara Maju

 
“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak.” (Mahatma Gandhi)

 
Di tengah semakin menguatnya fakta-fakta tentang perubahan iklim yang menyebabkan munculnya bencana ekologi di berbagai belahan dunia, Panitia Nobel Swedia menganugerahkan nobel perdamaian bagi Al Gore (mantan wakil presiden AS dan pejuang lingkungan hidup) dan IPCC PBB (Intergovernmental Panel on Climate Change – Panel Antar Negara untuk Perubahan Iklim).
Ini menguatkan kredibilitas IPCC yang menghimpun 2500 pakar dan peneliti dari 130 negara, yang selama ini berhadapan dengan berbagai lembaga kajian tandingan yang dibayar oleh perusahaan-perusahaanPerusahaan Trans-Multinasional terutama perusahaan perminyakan raksasa untuk mematahkan temuan-temuan dan prediksi ilmiah di seputar isu perubahan iklim.
IPPC telah memperkirakan bahwa tanpa ada upaya global mengurangi emisi, maka  sekitar 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Sementara itu kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Khusus untuk Indonesia, IPCC menyebutkan negara ini akan menghadapi resiko besar akibat pemanasan global. Pada tahun 2030, diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8-29 cm dari saat ini. Jika hal ini terjadi, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil. Penduduk Jakarta dan kota-kota di pesisir akan kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang kian tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir, sekaligus kekeringan yang menyekik kehidupan.
Nobel Perdamaian ini sekaligus menegaskan bahwa perubahan iklim adalah ancaman besar bagi terwujudnya dunia yang damai. Juga mengukuhkan bahwa tindakan yang menolak Protokol Kyoto merupakan tindak terorisme ekologis, sebagai suatu pernyataan perang yang tidak ada habis-habisnya terhadap bumi dan manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh Vandhana Shiva seorang cendekiawan India terpandang dan seorang aktifis sosial tingkat dunia menyatakan “dengan menolak menandatangani Protokol Kyoto, Presiden Bush telah melakukan tindak terorisme ekologis pada sejumlah besar komunitas yang mungkin akan lenyap karena pemanasan global”.

Pesta Pora Para Serigala
Mempertahankan gaya hidup american style yang menjadi dasar Presiden Bush untuk tetap bebal menolak menandatangi Protokol Kyoto menyebabkan rendahnya komitmen negara-negara maju untuk memecahkan persoalan genting ini.
Negara-negara barat, amerika dan eropa, adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa hanya 20,1 persen dari total warga dunia, namun mengkonsumsi hingga 59,1 persen energi dunia. Sedangkan penduduk di benua Afrika dan kawasan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengkonsumsi 10,3 persen.
Data tahun 1990 menunjukkan, total emisi gas rumah kaca mencapai 13,7 Gt (gigaton), yang secara berturut-turut disumbang Amerika (36,1 persen), Rusia (17,4 persen), Jepang (8,5 persen), Jerman (7,4 persen), Inggris (4,2 persen), Kanada (3,3 persen), Italia (3,1 persen), Polandia (3 persen), Prancis (2,7 persen), dan Australia (2,1 persen)
Krisis iklim adalah isu politik ekonomi. Ini adalah soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi, serta siapa yang memperoleh manfat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya (biaya kerusakan/pencemaran lingkungan).
Krisis iklim merupakan problem dari tatanan ekonomi yang tidak adil, dimana ketamakan menjadi panglima, akumulasi kekayaan segelintir orang hanya terjadi melalui penghisapan terhadap mayoritas lainnya. Sistem ekonomi yang disebut Kapitalisme Neoliberal inilah yang sedang mendominasi panggung global hari ini, merupakan kelanjutan dari kolonialisme dan imperialisme klasik. Sistem ekonomi ini bertumpu pada akumulai modal dan keuntungan, dan mampu mengendalikan sistem pemerintahan nasional dan global.
Korbannya adalah negara-negara selatan yang miskin namun memiliki kekayaan alam dan penduduk yang banyak. Kapitalisme Neoliberal tidak saja menimbulkan kemiskinan di kalangan mayoritas rakyat di negara-negara selatan, tetapi juga kerusakan lingkungan yang parah di tingkat lokal dan regional. Akumulasinya, kini seluruh bumi dan peradabannya harus menghadapi ancaman bencana ekologi yang maha dahsyat akibat perubahan iklim. Dan sekali lagi, rakyat di dunia ketiga dan negara-negara selatan yang paling rentan menghadapi ancaman bencana ini.
Politik Pengingkaran dan Kambing Hitam
Negara-negara Maju di utara terutama Amerika Serikat adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pemanasan global. Sikap keras kepala untuk mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, mewah dan boros adalah sebuah tindakan pengingkaran terhadap tanggung jawab tersebut. Bahwa kemakmuran yang mereka nikmati hari adalah hasil dari penghisapan dan pengerukan kekayaan alam negara-negara selatan sejak masa kolonialisme dan imperialisme klasik hingga saat ini. Merekalah (negara-negara maju) yang berhutang kepada negara-negara Selatan, yakni hutang sosial dan ekologis karena perampasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, pemiskinan rakyat dan pemakaian ruang alam untuk menimbun limbah berbahaya diantaranya gas-gas efek rumah kaca yang berakibat pemanasan global.
Bentuk-bentuk pengingkaran yang dilakukan oleh negara-negara maju adalah dengan membuat kajian-kajian yang melemahkan dan bahkan menyangkal laporan-laporan ilmiah seperti yang dikeluarkan oleh IPCC. Dengan disponsori oleh korporasi trans/multinasional maupun oleh aktor-aktor di dalam pemerintahan. Memberikan keleluasan dan perlindungan kepada korporasi-korporasi trans/multinasional untuk menjalankan bisnisnya. Perlu diketahui, kini kekuasaan Korporasi Global telah dapat menyaingi kekuatan ekonomi negara, terutama negara-negara berkembang di selatan. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah Korporasi Global.
Politik pengingkaran juga dilakukan dengan mengkambing-hitamkan negara-negara industri baru seperti Cina, India, Meksiko, Brazil sebagai penyebab utama pemanasan global. Bahkan termasuk kepada Indonesia, yang belum lama ini dianugerahi gelar emitor ke-3 tertinggi emisi gas rumah kaca karena kebakaran lahan dan hutan.
Politik kambing hitam ini juga bisa dilihat dengan mengalihkan tanggungjawab mereka untuk mengurangi emisi dengan bantuan untuk penghutanan di negara berkembang atau melalui mekanisme perdagangan karbon. Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics) menyatakan bahwa ongkos reduksi emisi melalui mekanisme perdagangan karbon hanya sepertiga atau kurang dibandingkan dengan reduksi pada sumber emisi.
Pada akhirnya, negara-negara maju akan menggunakan instrumen hutang luar negeri dan investasi asing untuk melakukan kontrol dan penaklukan terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara berkembang. Jerat hutang luar negeri inilah yang menjadikan penguasa di negara-negara berkembang ”menyesuaikan diri” dengan agenda-agenda kepentingan negara-negara maju. Di samping tentunya mental untuk mengejar rente ekonomi dari proyek-proyek hutang dan proyek ‘perubahan’ iklim yang telah menjadi isu andalan negara adikuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar